"Aku
ingin melihat wajah ibumu tersenyum, biarpun anyep sampul surat ini bercampur luka
kasar aspal panas menguliti telapak kakiku siang tadi.
Semua telah dengar, tentang napas di tengah kota yang tak sesegar udara di dusun kita, tak ada kokok jantan di waktu subuh, juga senandung yang menyadarkan lelap di pagi buta.
Semua telah tahu, senja muram bagi jelata yang membelot dari ketidak-pastian rencana.
Disini kukais sisa-kecerian bangsawan berpesta, bahkan sempat kurebut-paksa dari gerombolan lalat yang tengah menikmati makan siangnya.
Semua telah kau tahu, tak perduli amis dan nyinyir sepanjang aliran kumuh tempatku mengaduh.
Semua demi kalian buah hati, penerus langkah kecilku, agar kelak kau teruskan cita-cita besarku membuat rona di wajah ibumu tak pernah pudar…”
Peluk cium ayahmu.
Semua telah dengar, tentang napas di tengah kota yang tak sesegar udara di dusun kita, tak ada kokok jantan di waktu subuh, juga senandung yang menyadarkan lelap di pagi buta.
Semua telah tahu, senja muram bagi jelata yang membelot dari ketidak-pastian rencana.
Disini kukais sisa-kecerian bangsawan berpesta, bahkan sempat kurebut-paksa dari gerombolan lalat yang tengah menikmati makan siangnya.
Semua telah kau tahu, tak perduli amis dan nyinyir sepanjang aliran kumuh tempatku mengaduh.
Semua demi kalian buah hati, penerus langkah kecilku, agar kelak kau teruskan cita-cita besarku membuat rona di wajah ibumu tak pernah pudar…”
Peluk cium ayahmu.
No comments:
Post a Comment